
Buat warga DKI selamat menuju kota Bersyariah.
PKS & GERINDRA selamat, dan selamat tersenyum lebar Fahri Hamzah & Fadli Zon. Selamat maraknya sweeping di ibu kota ke depan. Dan mari berjumpa lagi dipertarungan berikutnya : Pilkada Jabar, Palembang dan kota-kota lainnya 2018. Suaraku tak akan redam untuk mengatakan TIDAK pada isu SARA.
Selamat buat Anies-Sandiaga, Semoga bisa merawat keberagaman dan meloloskan sandera politik islam. (Tapi sepertinya ini panggang jauh dari api).
Kalau melihat Pilkada DKI, isu SARA yg cepat laku bakal mewarnai sampai pilpres 2019 nanti. Dan Jokowi akan kembali dituduh Komunis.
Indonesia luar biasa, mistik tetap menjadi lebih penting ketimbang rasio. Rasanya saya mau k*ncing di tembok apartemen, karena mungkin ini yang paling polos dan gratis tanpa DP.
Sebagian pendukung Basuki, justru bahagia dengan kekalahannya. Karena dapat mereda gelombang amuk massa fundamentalis. Dan Basuki seperti berjuang ala yesus (versi umat nasrani) berkorban untuk keseimbangan untuk kemaslahatan umat. Memang berat posisi dirinya, jadi minoritas, beragam demo, masuk pengadilan, di bully, di cap china kafir komunis, di sebut penista, dan semuanya justru membuat ia bersyukur sambil berkata : “selamat untuk Anies”.
Dulu Henk Ngantung ditunjuk oleh Soekarno jd gubernur DKI yg juga non-muslim dan non-jawa. Dan tidak sedikit yg menolaknya. Kemudian di era Orba saat Platform partai & militer terlihat lemah, dominasi juga memainkan isu sara (agama) dalam pelanggengan kekuasaan. Hal-hal semacam ini cerita lama yg dipelihara di Nusantara.
Semoga yang terpilih, jadi gubernur seluruh warga ibu kota, bukan untuk golongan semata.
Pertarungan ini seperti Poin 1:1.
Kaum sekuler ataupun nasionalis telah memenangkan Pilpres 2014, kaum fanatik agama ataupun fundamentalis telah memenangkan pilkada DKI 2017….! bakal lebih seru di 2019. Namun apapun itu yang menang tetaplah bangsa Indonesia, yang menang adalah rakyat Indonesia, jika bicara demokrasi.
“Panjang umur keberagaman” semoga bukan hanya ucapan semata.
Kita ketahui bersama bahwa Anies pernah mnjadi bagian Jokowi, juru bicara saat kampanye Pilpres 2014 dan menjadi menteri pendidikan di kabinet kerja.
Hal ini dapat menguntungkan mantan para jendral dan prabowo di 2019 nanti dengan tetap membawa isu Sara, primordial, plus tumbuhnya komunis baru, yang akan digaungkan oleh PKS bersama ormas keagamaan yang fundamental.
Disisi lain para aktivis reformasi nan gagah sudah menjual diri dan idealisnya di anggota dewan, serta sudah merasa nyaman dalam karier politiknya. Para mahasiswa sudah diasyikkan dng gadget digenggamannya.
Mereka yang tidak suka rezim hari ini menyebutkan problem terbesar saat ini adalah komunisme gaya baru, dan sejarah mencatat perseteruan “Kom” dengan militer dibawah komando Soeharto membuahkan karya pembunuhan massal di 65. Tentunya para mantan militer tak mau diadili dan disalahkan, sementara Jokowi adalah ancaman bagi mereka. Karena akan dapat mengungkap kebohongan sejarah di era Orba.
Ironisnya tentang kata “rakyat bersatu tak bisa dikalahkan” di Nusantara hanya menjadi nyanyian yang didengar oleh sepi.
Aksi yang begitu massive belakangan ini barang mustahil jika tidak ada dalang yang pandai dalam taktik dan strategi. Menjadi pertanyaan kita bersama jauh sebelumnya tentang “begitu sulitkah negara untuk bubarkan ormas radikal?”.
Yang tampak terlihat, ormas-ormas radikal ini seperti dipelihara dan dibiarkan. Kasus demi kasus yang menimpa mereka seolah-olah tampak dibiaskan, akhir-akhir ini sebut saja misalnya nama Rizieq Shihab, seperti hilang ditelan bumi. Sementara kita tidak tahu dibelakang tirai yang terjadi sebenarnya. Lihat saja nama SBY hilang seketika yang mana sebelumnya meledak dengan kata “lebaran kuda”.
Pilkada Jakarta hanyalah skenario kecil mungkin bagi kubu mereka, dimana agenda besarnya adalah melengserkan kekuasaan hari ini yaitu Jokowi.
Hal ini seperti kisah pelengseran Soekarno, dimana orang-orang terdekatnya piawai bermain muka dan menusuk dibelakang. Kala itu pengkudetaan terhadap Soekarno yang akhirnya diambil alih Soeharto, masa aksi pun digerakkan oleh mahasiswa yang menyebut diri sebagai KAMI dengan tuntutan trikora. Kala itu dimasa transisi Soe Hok Gie menjadi salah satu mahasiswa yang melihat banyak kejanggalan, sementara teman-temannya sudah duduk di kursi empuk pemerintahan Soeharto. Gie melihat ternyata Soeharto lebih keji, yaitu melakukan pembunuhan massal dan eksekusi tanpa peradilan yang dilakukan militer. Dimana hal ini juga ada campur tangan asing. Isu yang dimainkan agama dan komunis.
Jokowi tersayang, sudah saatnya untuk berjuang habis-habisan. 2019 tinggal 2 tahun lagi. Dan Anies pernah menjadi bagian dari anda yang tentunya sangat menguntungkan bagi mereka. Isu agama dan komunis tetap akan mewarnai pertarungan politik Nusantara. Indonesia butuh pemimpin yang kerja nyata dan pro rakyat tanpa membohongi ataupun obral janji. Dan itu ada dalam diri Jokowi.
0 Komentar